WELCOME TO MY GALLERY
Browse »Home » » Indonesia itu Jauh di Mata, Tapi Dekat di Hati

Indonesia itu Jauh di Mata, Tapi Dekat di Hati

Indonesia itu Jauh di Mata, Tapi Dekat di Hati

 Kostum khas Hakata Dontaku dengan Niwaka, topi bunga. 

Tiada hal lain yang lebih membanggakan daripada bisa memperkenalkan negara dan budaya kita kepada orang asing, ketika kita sedang menempuh studi di luar negeri.  Kita bisa melakukannya melalui banyak hal, mulai menjadi representasi yang baik bagi negara kita dalam sikap dan perbuatan, mengukir prestasi akademis, atau mengikuti ajang  seni budaya yang diselenggarakan oleh kampus atau kota tempat kita belajar.
Mengikuti ajang seni budaya menjadi tantangan tersendiri bagi para mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di luar negeri karena mereka harus mau menyempatkan waktu di tengah padatnya aktivitas belajar. Saya mengalami sendiri bagaimana harus membagi waktu antara belajar, mengerjakan segala tugas kuliah dan mengikuti kegiatan memperkenalkan seni dan budaya Indonesia kepada masyarakat Jepang. Apalagi pertunjukan seni budaya yang akan ditampilkan memerlukan banyak latihan, tak jarang, akhir pekan harus “dikorbankan” untuk berlatih bermain alat musik tradisional ataupun menari.
Kota Fukoka dalam kemeriahan Hakata Dontaku.
Kota Fukoka dalam kemeriahan Hakata Dontaku.
Bagaimanapun juga, saya beserta mahasiswa Indonesia lainnya yang bersekolah di luar negeri adalah duta bangsa. Sebuah kewajiban moral bagi kami untuk memperkenalkan keindahan Indonesia beserta budayanya kepada siapa saja yang belum tahu tentang negara kita tercinta. Minimal, orang asing tahu ada negara kepulauan terbesar bernama Indonesia yang tercetak jelas di peta dunia. Lebih bagus lagi, lewat promosi kita, ada orang asing yang terdorong untuk berkunjung ke Indonesia.
Masih lekat dalam ingatan, pada awal Mei 2008 ketika masih repot menyelesaikan laporan Independent Study Project (ISP) untuk program Japan in Today’s World di Universitas Kyushu, saya harus membagi konsentrasi untuk persiapan pesta budaya Hakata Dontaku. Meski saya hanya mengikuti program pertukaran pelajar, namun tuntutan belajar yang dibebankan tak kalah berat daripada program S2, loh. Belum lagi, kelas bahasa Jepang yang mewajibkan saya untuk menghafal ratusan kosakata bahasa Jepang tiap hari dan belajar huruf Kanji yang rumit, membuat otak saya semakin “keriting”.
Apakah saya mengeluh? Tentu saja tidak. Keluhan hanya akan menggerus semangat berjuang. Saya sadar bila kunci sukses dalam menghadapi kesibukan adalah manajemen waktu yang disiplin. Sibuk bukan suatu alasan, tetapi justru menjadi tantangan yang harus ditaklukkan. Kalau belajar dan berkegiatan budaya bisa berjalan beriringan, rasa bangga serta pengalaman tak terlupakan menjadi reward yang tak ternilai.
13771464322134874770
Tim Parade Indonesia dalam Hakata Dontaku
Tiga Mei, 2008 menjadi hari yang istimewa tak hanya bagi mahasiswa Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat kota Fukuoka, Jepang. Pada tanggal itu,  parade budaya tahunan Hakata Dontaku digelar. Parade ini diikuti oleh oleh sekitar 500 grup yang datang untuk mewakili asosiasi pelajar asing dari berbagai negara, sekolah, institusi publik, instansi swasta, marching band, klub olah raga dan komunitas lainnya yang ada di Fukuoka.
Jalan Meiji yang membelah jantung kota tersebut disulap menjadi cat-walk panjang bagi para peserta parade untuk menari dengan riang atau memamerkan talenta yang dimiliki dalam balutan kostum unik. Di tiga puluh titik lain di seluruh wilayah kota, musisi lokal, penyanyi dan penari tradisional Jepang dibuatkan panggung untuk menghibur masyarakat dengan meriah. Aksentuasi perayaan khas Jepang dihadirkan melalui jalinan lampion yang digantung pada dahan-dahan pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Kota menjadi begitu berkilau dengan sorotan ribuan lampu di malam hari. Konon katanya, tradisi Hakata Dontaku yang telah berumur sekitar 800 tahun ini menyedot perhatian tak kurang dari 2 juta pasang mata.
Peta rute parade budaya Hakata Dontaku.
Peta rute parade budaya Hakata Dontaku.
Tim parade Indonesia telah melakukan persiapan dari jauh-jauh hari untuk memberikan penampilan terbaik. Latihan rutin pun dilaksanakan, terutama bagi  kelompok penari kuda lumping di mana saya tergabung di dalamnya. Setiap minggu pagi, kami berlatih tarian Kuda Lumping di dalam gedung pertemuan Ryugakusei Kaikan atau asrama mahasiswa asing, Universitas Kyushu. Kebetulan salah seorang mahasiswa doktoral dengan panggilan Pak Imam jago dalam tarian Jawa klasik, jadi ia kedapuk melatih kami semua.
Detail kostum semua peserta juga diperhatikan betul-betul, mulai dari tutup kepala hingga alas kaki. Kesan tradisional haruslah kuat disuguhkan untuk mencitrakan Indonesia sebagai sebuah negara yang kaya dengan ragam budaya dan tradisi. Untungnya, Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (PPIJ) Komisariat Fukuoka telah memiliki banyak koleksi kain tradisional dari berbagai daerah di Indonesia namun ada juga komponen yang harus didatangkan langsung dari Indonesia, seperti kuda lumping yang kami tunggangi, karena tidak ada yang jual di Jepang..he..he.
Rona bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika jelas tergambar dalam susunan tim parade yang dibentuk. Tua-muda, besar-kecil  berlatar belakang suku dan asal berbeda di tanah air ikut dalam rombongan. Mahasiswa , Tenaga Kerja Indonesia di Jepang  atau kensutsei, hingga anak-anak kecil  sangat bersemangat untuk ikut serta. Saya begitu bahagia melihat kami semua bisa kompak seperti itu. Ternyata ada juga loh, orang Jepang asli yang sangat antusias untuk bergabung dalam tim parade Indonesia. Mereka mengaku terpanggil ikut serta dalam parade ini karena merasa memiliki ikatan kuat dengan Indonesia setelah beberapa tahun pernah tinggal di negara kita. Salah satunya adalah Chikako San yang memilih  Baju Bodo berwarna merah jambu sebagai kostumnya. Sughoi! (kata “keren” dalam bahasa Jepang).
13771468611065068890
Orang Jepang bangga mengenakan busana tradisional Indonesia.
Kami “dijemur” dulu di atas tanah lapang di daerah Gofukumachi bersama ratusan peserta parade lainnya untuk menunggu giliran berjalan. Menurut aturan panitia, urutan jalan berdasarkan pada abjad pertama dari nama grup parade. Indonesia sendiri mendapat urutan di belakang tim parade India.  Lama? Jelaslaaah.
Sabar menunggu dapat “hadiahnya”. Kerumunan orang menyuguhkan hiburan tersendiri bagi kami, terutama kostum-kostum unik yang dikenakan oleh peserta parade lainnya. Salah satunya adalah tim parade Jepang yang peserta perempuannya mengenakan ikon Hakata Dontaku, yaitu hanakasa atau topi bunga, dan niwaka, topeng berkarakter lucu yang dipasang menutupi wajah peserta laki-laki. Tak ketinggalan, hasrat narsis kami puas-puaskan dengan berfoto bersama peserta parade berkostum kabaret. Mereka cantik-cantik dan terlihak unik sekali dengan busana bersayap dan bermahkota bulu yang berwarna-warni. Kami terlihat sumringah tertangkap lensa kamera bersama dengan mereka.
Perjalanan parade dimulai dari perempatan Gofukumachi lantas menelusuri ruas Jalan Meiji sepanjang 1,3 km. Ribuan penonton telah menyesaki trotoar yang terletak di tepi kanan dan kiri Jalan Meiji untuk menyaksikan peserta parade berjalan kaki. Sebelumnya, saya tak mengira jumlah penonton akan sebanyak itu. Meski keadaannya sangat padat, dengan kesadaran pribadi, mereka berdiri dengan tertib tanpa terjadi kegaduhan. Sungguh perlu ditiru!
13771478941930837034
Sambutan meriah menyambut tim parade Indonesia.
Penampilan tim parade Indonesia memukau para penonton dengan beragamnya busana daerah yang kami kenakan. Ulos, Kebaya, Surjan, Songket, Batik, Baju Bodo,  Urang Besunung serta busana daerah lainnya menjadi pusat perhatian. Jepretan kamera bertubi-tubi penonton arahkan kepada kami dari berbagai sudut. Rasanya, hari itu kami jadi bintang panggung. Daya tarik  tim parade Indonesia terletak pula pada tiga tokoh pewayangan yang diperankan dengan sangat baik oleh tiga rekan mahasiswa Indonesia.
Hanoman dan Sughriwa dengan jenggot panjang menjuntai berada di barisan paling depan. Bak Kera Sakti, mereka lincah berjingkrak ke sana ke mari sambil melambai-lambaikan bendera merah putih. Gatutkaca, Kesatria Pringgodani, memainkan selendang dengan kedua tangannya seperti dalam adegan wayang orang.  Mengikuti di belakang sang kesatria, tim kuda lumping dengan kostum lurik dan batik beraksi di atas kuda lumping yang mereka tunggangi. Tepuk tangan para penonton yang menempati panggung di titik akhir parade menyambut kami dengan meriah. Perasaan bangga berkali-kali menyeruak saat kami disebut dari Indonesia.
1377147989123321707
Beraksi di atas Kuda Lumping.
Setelah berjalan kaki selama 30 menit,  sampailah kami di Fukuoka City Hall. Artinya pawai sudah selesei. But the party is not over yet! Nah, kebetulan di tanah lapang Tenjin Chuo Park sengaja didirikan banyak gerai makanan sebagai bagian dari pelaksanaan Hakata Dontaku. Suasananya mirip pasar malam kalau di Indonesia. Tenda-tenda gerai makanan berwarna cerah berjejer rapi, diterangi bohlam-bohlam yang berpendar. Orang-orang berlalu-lalang untuk mencari aneka jajanan yang diinginkan di sana. Pilihannya banyak, ada kudapan tradisional Jepang, kembang gula, arum manis, es krim, hingga bir.
1377148441158129648
Suasana pasar malam Hakata Dontaku.
1377147195825214848
Hashimaki, kudapan khas Hakata Dontaku.
Sebagai hadiah bagi perut yang lapar setelah lelah berjalan mengikuti parade, bersama dua teman Indonesia-Taufik dan Ogy, saya menyantap Hashimaki yang merupakan kuliner khas dari Hakata Dontaku. Bentuk kue ini seperti risoles tetapi  dengan ukuran yang lebih gede. Rasanya gurih berpadu manis yang dihasilkan oleh taburan nori (lembaran rumput laut), katsuo (serutan kulit ikan), dan saus Okonomiyaki.  Akhirnya, santap malam saya tutup dengan makan es krim dwi rasa, strawberry dan vanila yang lembut sekali meleleh di lidah. Sambil duduk bersila di atas rumput hijau yang membentang di atas lapangan Tenjin Chou Park, saya  mengelamuti es krim itu berdampingan dengan ribuan pengunjung lainnya yang tengah bersantai. What a perfect day!
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Posting Komentar

 
Kerangka Template by creating website » Template modify by panjz online