“Amenangi jaman luwe. Wong sing
ora luwe rasah melu-melu luwe. Kudu tetep mangan. Sak begja-begjane wong
mangan, isih begja wong sing kelakon mangan ing warung kene. Mulane ojo
kapok mangan. Mengko ndak luwe maneh.”
Parodi syair Zaman Edan,
Rangga Warsita, Pujangga Jawa terpampang pada baliho yang dipasang di
kanopi lorong masuk-keluar Warung Makan Bu Ageng, Tirtodipuran,
Yogyakarta. Menjumpai zaman kelaparan. Orang yang tidak lapar tidak usah
ikut-ikutan lapar. Harus tetap makan. Tidak ada orang yang lebih
bahagia kecuali yang pernah bersantap di warung ini. Itu sebabnya jangan
pernah jera makan. Nanti bakal didera kelaparan lagi. Begitulah
kira-kira arti harafiah plesetan syair Zaman Luwe di warung milik keluarga aktor Butet Kartaredjasa.
Warung Bu Ageng unik. Diaadaptasi dari Pak Ageng—tokoh rekaan sastrawan Umar Kayam, almarhum, dalam buku Mangan Ora Mangan Kumpul.
Seperti hendak melawan kecenderungan umum. Berlokasi bukan di
sentra-sentra kuliner Yogyakarta: Gejayan, Barek, Jakal, Adisucipto,
Kusuma Negara, Sagan, Mangkubumi, Malioboro, Kranggan, Jetis, Terban,
Kricak dan Kota Baru. Warung Bu Ageng terletak nun di selatan kota
Yogyakarta. Bilangan Tirtodipuran dan Prawirataman merupakan kawasan
turisme manca negara dan galeri seni.
Arsitektur bangunannya sangat khas Jawa. Bila
perabotan warung atau restoran seumumnya dibuat agar tamu tidak betah,
penataan meja dan kursi bersahaja di Warung Bu Ageng justru dirancang
agar pelanggan kerasan duduk berlama-lama. Lukisan kaca “Kawasan Bebas
Korupsi”, “Urip Mung Mampir Guyu”, dan “Tutwuri Hanggajuli” serta gambar
para tokoh Jogja tempo dulu, seperti HB VII dan HB IX, Ki Ageng
Suryomentaraman, Basiyo, Pak Harto, Pak Dirman, Pak Besut, Romo
Zoetmulder, Mgr Soegijapranata, Bagong Kussudihadjo, Romo nDung, dan
Prof. Sartono menjadi hiasan khas warung ini. Warung-warung lain hiasan
dindingnya kalender promosi aneka perusahaan. Semakin banyak kalender
terpasang di tembok, konon, itu pertanda warungnya laris.
Butet Kertaredjasa, kecuali pengecer jasa akting
juga pemangsa makanan enak. Tempat-tempat wisata lidah kegemaran Butet
di antaranya: Sate Klathak Kang Bari, nJejeran, Pleret Bantul, Soto
Sumuk Terban, Bakso Bethesda, Brongkos Warung Ijo Tempel dan Brongkos
Handayani Alun-Alun Kidul, Bakmi Pak Rebo Kintelan, dan Ayam Panggang
Anggraeni Klaten. Bu Ageng, istrinya jago masak. Kombinasi suka makan
enak dan istri pintar memasak itulah motivator Warung Bu Ageng. Di
Warung Bu Ageng sama sekali tidak ditemukan foto-foto Butet. Dia ingin
membangun perasaan bangga pada produk istrinya. Pelanggan datang bukan
konsekuensi nama besar Butet melainkan karena masakan Bu Ageng yang
memang miroso, nyamleng, dan numani.
Sajian Bu Ageng khas. Beda dengan menu warung pada
umumnya. Bu Ageng meracik sendiri masakan rumahan seperti Eyem Penggeng
(ayam panggang bumbu areh), Ayam Nylekit, Sambal Kutai, Nasi Campur
(lidah sapi masak semur, terik daging sapi, paru ketumbar, baceman
kambing), dan sayur lodeh. Menu spesial, tidak setiap hari ada karena
bahannya susah didapat, Jambal Santan, Sidat Masak Kecap, Pangkal Lidah
(Elek-Elekan), Sotong (Cumi-Cumi) Gelap, Patin Goreng Sambal Kweni, dan
sayur Terong Asam. Makanan ringan: Pisang Panggang Kayu Manis, Bakwan
Ageng, Bubur jagung, dan Bubur Duren Mlekoh. Minumannya, Teh Rempah,
Kopi Clekot, Es Kopyor Durian, dan Es Jahe Soda. Baca daftar menunya
langsung terbayang keunikannya.
Bu Ageng tidak menjajakan Soto, Bakso, Sop Buntut,
Bubur Ayam, Brongkos, Sate, Bakmi, dan Nasi Goreng. Sedari awal Butet
dan istrinya tidak hendak merebut rezeki warung-warung penjaja menu
tradisional yang bertebaran di sekujur Yogyakarta. Keluarga Butet
mengendalikan diri dan menghindari mentalitas serakah. Seperti salah
satu tema koleksi lukisan kacanya, Butet ora arep nguntal donya. Tidak hendak menelan atlas dunia bulat-bulat.
Bila pas tidak sedang mbarang (ngamen) di luar kota, pelanggan bisa mengudap rasa sembari ngobrol mat-matan (bercengkerama) dan guyon maton pari keno
(bersenda gurau) dengan Butet di Warung Bu Ageng. Butet membantu
mempromosikan usahan istrinya melalui twitter. Sangat menggelikan,
memperhatikan kicauan Butet. Banyak orang tak mau kekasar ingin panduan
rute menuju lokasi. Calon pandemen dari luar kota familiar belum
familiar dengan kawasan Tirtodipuran.
Calon pelanggan baru banyak yang kecelik. Setiap
Senin Warung Bu Ageng tutup. Biar karyawan bisa punya banyak waktu
beristirahat. Supaya keluarga Butet lebih bisa menikmati hidup. Warung
Bu Ageng memang menyengat aroma living in the moment-nya. Sungguh-sungguh warung pelancong dalam arti alon-alon waton sak kelakon-kelakone. Serba pelan yang penting terlaksana. Ora kemrungsung. Tidak tergopoh dan tergesa.
Di Warung Bu Ageng waktu seolah berhenti karena
pelanggan bisa menikmati sari pati hidup sampai suapan dan tegukan
terakhir. Jogja itu kota nguler kambang. Semua harus dinikmati lama dan perlahan. Bukan kota yang berpacu kencang mengejar absurditas.
Butet, dalam perspektif model Grow With Character Hermawan Kartajaya (2010), termasuk aktor berkarakter dan kharismatik karena memiliki excellence, profesionalism, dan ethics. Semangat inilah yang ditularkan dalam mengembangkan usaha keluarga. Dalam konsep positioning, differentiation, dan branding (PDB), excellence identik positioning. Excellence
mengacu pada hasrat mencapai standar lebih unggul. Warung Bu Ageng
perpaduan kecintaan pada pusaka kuliner Indonesia dan ketekunan meracik
bumbu alamiah. Kendati warung, toilet Warung Bu Ageng bersihnya tak
kalah dengan toilet hotel bintang 5.
Profesional karena mengarah pada empat passion—for knowledge, business, service, dan people.
Profesional berkaitan erat dengan diferensiasi. Pemilihan lokasi,
arsitektur bangunan kayu, dan daftar sajian Warung Bu Ageng dirancang
berdasar keempat passion sehingga memiliki faktor pembeda dari warung-warung seumumnya. Seperti ajaran Ki Ageng Suryomentaraman, “Nek kowe mung golek iwak, kowe bakal oleh iwak. Nek kowe golek sanak, kowe bakal oleh sanak, ya oleh iwak.
Kalau kamu hanya mencari ikan, kamu hanya dapat ikan. Kalau kamu
mengutamakan persaudaraan, kamu akan dapat saudara yang akan memberimu
ikan.” Keluarga Butet tidak melulu cari untung melainkan menghidupi
kultur paguyuban yang mulai pudar digerus kalatida dan kala bendu—zaman
jahiliah.
Ethics berarti mengedepankan budi pekerti luhur. Ethics berkaitan dengan brand. Warung Bu Ageng brand berkarakter karena ugahari. Berusaha menjauhi mentalitas serakah. Tangga pintu masuk dilengkapi fasilitas bagi kaum diffable.
Setiap senin tutup. Tidak ingin menjadi pesaing terdekat bagi
warung-warung lainnya. Tak ubahnya kapal pesiar, Warung Bu Ageng hendak
mengangkut para pelancong pesiar di samudera biru (blue ocean) yang tenang. Bukan berkompetisi keras di laut merah bersimbah darah persaingan.
Parodi syair Pujangga Rangga Warsita di lorong
masuk-keluar warung sudah cukup memberi gambaran bahwa warung ini
visioner: dirancang berkelanjutan buat menyantuni generasi mendatang.
Segala yang tidak difokuskan pada keluarga hanya akan hilang sia-sia.
Butet Kartaredjasa belajar dari kesalahan para seniman besar sebelumnya.
Tak mau hanya mewariskan perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga.
Egoisme sempit kepentingan jangka pendek di masa jaya dengan
membelanjakan uang sekedar buat klangenan dia singkirkan.
Warung Bu Ageng investasi jangka panjang agar istri
dan ketiga anaknya belajar mandiri dan ulet lepas dari bayang-bayang
suami dan ayah mereka. Seniman tetap harus punya manajemen hidup, tidak
boleh awut-awutan. Mentalitas berkelimpahan, bukan kecingkrangan, itulah
yang hendak diwariskan Butet bagi keluarganya.***
Posting Komentar